PT. GPU
Soft cover, 608 hlm.
A review from December 30, 2008
Terus terang, tadinya saya malas menulis komentar tentang buku ini. Awalnya, ritme membaca saya rada tersendat-sendat, bukan gara-gara buku ini membosankan sih, tapi karena saya sedang dalam mood buat tidur (mumpung libur panjang. Ha-ha). Akhirnya setelah mood membacanya datang kembali, saya menghabiskan 3/4 bagian buku ini hanya dalam waktu semalaman.
Buku ini menurut saya, adalah tipe buku yang membuat pembacanya terbentur dalam dilema. Kalau nggak dilanjutin baca, kita dihantui rasa penasaran. Tapi kalau dilanjutin baca, yang ada kita dihantui beneran. Begitu selesai membaca buku ini, (jam setengah 2 pagi) saya tidak bisa tidur lagi. Pikiran saya terus-menerus ”dihantui” oleh tokoh-tokoh penghuni Angelfield House yang rasanya benar-benar hidup.
Awalnya saya pikir buku ini mirip buku Ghost Writer-nya John Harwood yang, kalau nggak salah, saya beri cap 2 bintang saja. Kadar kesuramannya sama. Namun demikian, tokoh dalam buku ini tidak terlalu membingungkan, dan tidak terlalu jahat, sehingga menjadikan buku ini berbeda sama sekali dengan karangan John Harwood tersebut.
Ini adalah kisah seorang penggila buku yang bikin saya iri setengah mati, karena bisa bersentuhan dengan koleksi buku-buku kuno yang luar biasa, dengan minat baca dan kegilaan MEMBACA yang membuat saya ciut (dan membuat saya jadi tidak merasa gila lagi :p).
Tidak seperti yang dikesankan oleh novelnya, ini adalah novel dewasa!
Alkisah, sebutlah seorang wanita muda bernama Margaret Lea, seorang anak pemilik toko buku kuno, yang suka ”mengintip” masa lalu orang lain, dan kadang-kadang di waktu luangnya, dia menulis biografi. Salah satu karyanya menarik perhatian seorang penulis yang banyak menulis buku bestseller, Vida Winter.
Ms. Winter meminta Margaret untuk menuliskan riwayat hidupnya. Riwayat hidup yang sebenarnya (catat!). Masa lalu yang ternyata kelam, suram, dan mengerikan (sedikit menjijikkan menurut saya…). Setelah tinggal di rumah Vida Winter, Margaret pun sudah mulai membuka diri, dan mengemukakan ketakutan-ketakutan (”Hantu-hantuku,” katanya!)-nya kepada pembaca. Hanya saja, ketakutan Margaret sudah bisa saya tebak dari awal. Margaret tertarik untuk menulis kisah hidup Vida Winter, karena satu kalimat, ”ceritakanlah kepadaku yang sesungguhnya…”. Belum lagi tentang adanya misteri dongeng ketiga belas.
Yang saya suka dari buku ini adalah endingnya. Walau terkesan maksa dan menggantung, tapi segalanya berjalan baik untuk semua orang. Yaayyy… (eh ini spoiler bukan ya?).
Alur ceritanya terkadang pelan, namun bisa tiba-tiba berlari dengan cepat. Untaian kalimat yang dipilih juga pas. Mungkin terjemahannya yang baik? Saya jadi penasaran pengen baca buku aslinya.
-nat-